Thursday, July 23, 2009

PERAN KHILAFAH DALAM MENJAGA KEMURNIAN AJARAN ISLAM


Oleh : Drs. H. Tete Sukarsa, MH.


A.Pendahuluan

Sejak Nabi Muhammad wafat pada tahu 632 M, terminologi khilafah mulai muncul di kalangan umat Islam. Abu Bakar yang diangkat sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW untuk memimpin umat Islam yang sudah tersebar di seluruh Arabia waktu itu, diberi gelar Khalifah. Sejak saat itu khilafah sudah benar-benar menjadi suatu konsep politik dalam terminologi Islam, yang pengertiannya terus berkembang seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri.

Pada tahun 1924, Mustafa Kemal Attaturk menghapuskan sistem khilafah di Turki. Tindakan Kemal Attaturk, bukan hanya telah mencederai kaum muslimin dengan menghapus sistem politik yang selama berabad-abad dianut oleh umat Islam, tetapi sekaligus memunculkan dan mendorong para intelektual Islam untuk mengkaji kembali secara ilmiah konsep khilafah dan kemungkinan penerapannya di abad modern ini di dunia Islam.

Kajian mendasar tentang konsep khilafah dilakukan dengan mengkaji ayat-ayat Al Quran, yang dianggap sebagai sumber ajaran Islam, yang kajiannya berangakat dari pertanyaan pokok, yakni bagaimana Al Quran berbicara tentang konsep khilafah dan adakah konsep khilafah dalam terminologi politik yang dibicarakan dalam Al Quran.


B.Arti dan Fungsi Khilafah

Secara terminologis kata khilafah berarti pemerintahan Islam, kepala pemerintahannya dijabat seorang khalifah. Kata khalifah menurut bahasa berarti pengganti. Dalam bahasa Inggris disebut successor. Sepeninggal Rasulullah, jabatan tertinggi pengganti beliau bernama khalifah Abu Bakar, dan semenjak itulah terminologi khilafah sebagai sebuah sistem politik dalam Islam berkembang. Yang patut dipertanyakan di sini adalah, mengapa jabatan tertinggi pengganti Rasulullah disebut khalifah, bukan amir atau yang lainnya. Pertanyaan ini muncul, karena pada waktu dilaksanakannya musyawarah antara kaum Muhajirin dan Anshor di Syakifah, istilah yang digunakan adalah amir, bukan khalifah (mina amir wa minkum wajir) seperti yang dikatakan oleh Abu Bakar dalam menyampaikan pendapat kaum Muhajirin pada waktu musyawarah tersebut.

Dalam Al Quran, kata khalifah ditemukan pada dua tempat, yaitu pertama dalam surat Al Baqarah ayat 30 dan dalam surat As Shad ayat 26. Ayat pertama berbunyi sebagai berikut :

Dalam ayat ini ada pemberitaan, bahwa Allah SWT ”bermusyawarah dengan para malaikat ” tentang maksud Nya menjadikan (menciptakan) khalifah di muka bumi. Lalu apa pengertian khalifah di sini dan siapa yang dimaksud?. Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu juga disimak lebih dahulu tentang tiga pendapat mufasir terdahulu yang dikemukakan oleh Al Musyabiri dalam tafsirnya yang berjudul Gharaibu Al Quran wa Raghaibu Al Furqan sebagai berikut :
1.Ibnu ’Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud disini ialah Adam, dan pengertian ”khalifah” ialah ”pengganti” makhluk Jin sebelumnya yang telah dimusnahkan Tuhan dengan mengirim tentara yang terdiri dari para malaikat. Nampaknya pendapat ini didasarkan atas sebuah hadits yang diterimanya sendiri dari Rasulullah yang menyatakan hal tersebut.
2.Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa yang dimaksud juga Adam; tetapi pengertian ”khalifah” di sini ialah ”pengganti” Allah untuk makhlukNya di muka bumi. Dia berdalil dengan ayat Al Quran dalam surat Shad ayat 26, di mana Tuhan menyebut Nabi Daud as. sebagai ”khalifah”, dan yang terakhir ini adalah juga seorang raja yang berkuasa. Jadi secara sistematik dia mengartikannya dalam kontekss politik atau kekuasaan.
3.Al Hasan berpendapat bahwa yang dimaksud di sini ialah keturunan Adam (umat manuasia), karena mereka selalu ganti mengganti satu generasi oleh generasi yang lain di muka bumi. Dia berdalil juga dengan ayat 165 surat Al An’am, yang menyatakan bahwa manusia sebagai ” khalifah-khalifah” di bumi. Jadi pendekatannya juga secara sistematik sperti pendapat Ibnu Mas’ud sebelummnya.

Mirip dengan pendapat Ibnu Abbas seperti tersebut di atas, Ahmad Baiquni, seorang pakar Indonesia terkenal, juga mengartikan ”khalifah” di dalam ayat ini sebagai ”pengganti suatu jenis makhluk sebelumnya”. Baiquni yang mencoba menafsirkan ayat ini dengan sains modern, juga berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Adam, manusia pertama .

Dia menjelaskan bahwa sebelum Adam diciptakan Tuhan di bumi sudah ada sejenis makhluk hidup yang belum bisa disebut manusia meskipun bentuknya menyerupai manusia. Adam diciptakan Tuhan dengan melalui ”mutasi” dalam rangkaian suatu evolusi yang panjang sekali. Sebagai mahkluk pengganti, manusia diberi Tuhan kemampuan berpikir abstrak dan menggunakan akal. Dengan kemampuan ini, manusia dapat mengasosiasikan benda dengan kata atau simbol, sehingga dapat mengadakan komunikasi dengan kata-kata, dan jadilah dia makhluk berbicara. Hal ini menurut pendapatnya diperkuat oleh ayat sesudahnya, di mana Tuhan mengajar Adam nama-nama benda seluruhnya, dan ternyata Adam dapat mereproduksi nama-nama tersebut. (ayat :31)

Kalau diperhatikan pendapat Ibnu Abbas, Ahmad Baiquni dan Al Hasan tentang pengertian ”khalifah” dalam ayat ini, meskipun mengandung perbedaan satu dengan yang lainnya, namun ada esensinya yang sama, yaitu mengandung arti ”pergantian generasi”; pergantian makhluk Jin dengan Adam, menurut Ibnu Abbas; pergantian sejenis makhluk hidup dengan Adam, menurut Baiquni; dan pergantian suatu generasi manusia oleh generasi berikutnya, menurut Al Hasan.

Berbeda dari pendapat tersebut, Al Qurthubi lebih sependapat dengan Ibnu Mas’ud , yang berpendapat bahwa ”khalifah” di sini berarti ”pengganti” Tuhan untuk melaksanakan segala perintah dan hukumNya. Hal ini dikaitkan dengan jabatan Adam sebagai Rasul Tuhan yang pertama, Menurut pendapatnya semua Rasul Tuhan adalah juga Khalifah Tuhan dimuka bumi, karena tugasnya melaksanakan segala perintah dan hukum Tuhan terhadap umat manusia, sebagaimana nabi Daud disebut Tuhan sebagai ”khalifah”( QS. As Shad ayat 26) Malah lebih jauh dia menarik ayat ini sebagai dasar utama menetapkan wajibnya menegakan suatu pemerintahan di kalangan kaum muslimin, yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Nampaknya Al Qurthubi menarik ayat ini dalam kontekss politik.


C.Peran Khilafah dalam Menjaga Kemurnian Ajaran Islam

Dari pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, kita bisa menarik kesimpulan lain, bahwa khalifah di dalam Al Quran bisa jadi berada dalam konteks privat, yaitu Adam a.s dan atau keturunannya yang secara tegas dijadikan Allah sebagai khalifahNya, pengganti Tuhan untuk melaksanakan segala perintah dan hukumNya. Begitu menurut Al Qurthubi dan Ibnu Mas’ud. Juga bisa berada dalam konteks sosial, yaitu pergantian generasi, seperti pendapatnya Ibnu Abbas dan Ahmad Baiquni. Tetapi pengertian ini juga bisa ditarik ke dalam konteks politik, jika hal tersebut didasarkan kepada surat As Shad ayat 26 yang tidak memiliki makna lain selain konteks khilafah harus diterjemahkan dalam konteks politik.

Khilafah sebagai sebuah sistem dan nilai dengan pucuk pimpinannya disebut khalifah, bisa jadi berada dalam konteks pribadi atas dasar kesadaran tiap individu bahwa setiap diri diciptakan Allah SWT dijadikan sebagai khalifahNya di muka bumi dan dalam konteks sosial dia diciptakan untuk menggantikan generasi demi generasi yang diciptakan Allah untuk melaksanakan hukum dan perintahNya. Sedangkan dalam konteks politik Khilafah terwujud, seperti dijelaskan dalam Al Quran surat As Shad 26, Allah menyatakan bahwa Daud disamping sebagai nabi juga sebagai khalifah yang memiliki kekuasaan politik atas masyarakatnya.

Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa peran khilafah dalam menjaga kemurnian ajaran Islam adalah merupakan keniscayaan dan keharusan. Kesadaran tiap individu, bahwa dirinya adalah khalifah Allah akan menghantarkan individu tersebut untuk senantiasa bersikap proaktif menselaraskan hidup dan kehidupannya sesuai yang diinginkan oleh Allah SWT. Dia akan merasa tidak nyaman ketika kehidupan pribadinya tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Begitupun dalam kehidupan sosialnya, akan lahir sebuah kehidupan sosial, hubungan antar pribadi yang diselaraskan dengan kehendak yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Pada akhirnya begitupun dalam kehidupan politik akan terwujud sebuah tatanan politik yang didasarkan kepada khilafah, sebuah tatanan politik yang didasarkan kepada keinginan dan kehendak yang menciptakan. Pribadi, tatanan sosial serta tatanan politik yang Islami, adalah perwujudan dari pelaksanaan sistem khilafah atas pribadi, sosial dan poltik. Wallahu A’lam bishshowab.

No comments:

Post a Comment

Pencarian